DOKTRIN PIERCE THE CORPORATE VEIL
DALAM PERSEROAN DAN PENERAPANNYA
Teori dalam hukum perusahaan yang dikenal dengan teori
Penyingkapan Tirai Perusahaan (Doktrin Pierce The Corporate Veil) ini merupakan
topik yang sangat popular dalam hukum perusahaan, bukan saja dalam tata hukum
Indonesia, melainkan juga dalam tata hukum modern di kebanyakan Negara lain.
Istilah lain dari teori ini disebut juga (Lifting The Corporate Veil) atau
(Going Behind The Corporate Veil). Penerapan teori ini mrmpunyai misi yang utama
yaitu untuk mencapai keadilan khususnya bagi pihak ketiga dengan pihak
perusahaan yang mempunyai hubungan hukum tertentu. [1]
Istilah Pierce The Corporate Veil diartikan sebagai suatu
proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain,
atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum),
tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh
perseroan pelaku tersebut. Dalam hal seperti ini pengadilan akan mengabaikan
status badan hukum dari perusahaan tersebut, dan membebankan tanggung jawab
kepada pihak “Organizers) dan “Managers” dari perseroan tersebut dengan
mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas dari perseroan sebagai badan badan
hukum yang biasanya dinikmati oleh mereka. Dalam melakukan hal tesebut,
biasanya dikatakan bahwa pengadilan telah Mengoyak/menyingkapi tirai perusahaan
(To Pierce The Corporate Veil) (Friedman, Jack P., 1987 :432 ).[2]
Black’s Law Dictionary mendefinisikan prinsip piercing the corporate veil sebagai:
“Judicial process whereby court disregard usual immunity of corporate officers or entities from liability for wrongful corporate activities; e.g. when incorporation exists for sole purpose or perpetrating fraud. The doctrine will holds that the corporate structure with its attendant limited liability of stockholders, officers and directors in the case of fraud or other wrongful acts done in the name of corporation. The court, however, may look beyond the corporate from only for the defeat of fraud or wrong or the remedying injutice”.
“Judicial process whereby court disregard usual immunity of corporate officers or entities from liability for wrongful corporate activities; e.g. when incorporation exists for sole purpose or perpetrating fraud. The doctrine will holds that the corporate structure with its attendant limited liability of stockholders, officers and directors in the case of fraud or other wrongful acts done in the name of corporation. The court, however, may look beyond the corporate from only for the defeat of fraud or wrong or the remedying injutice”.
Adapun yang merupakan kriteria dasar dan universal agar suatu Piercing The Corporate Veil secara
hukum dapat dijatuhkan adalah sebagai berikut :
1.
Terjadinya
penipuan
2.
Didapatkan
suatu ketidakadilan
3.
Terjadinya
suatu penindasan
4.
Tidak
memenuhi unsur hukum (illegality)
5.
Dominasi
pemegang saham yang berlebihan
6.
Perusahaan
merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritas
Terdapat beberapa fakta yang secara universal diterapkannya teori Pierce The Corporate Veil antara
lain sebagai berikut:
1. Permodalan
yang tidak layak (terlalu kecil). Modal yang tidak layak ini menjadi factor
yang krusial, apalagi terhadap perusahaan public atau perusahaan finansial,
seperti bank, asuransi, dll.
2. Penggunaan
dana perusahaan secara pribadi.
3. Ketidakadaan
formalitas eksistensi perseroan.
4. Terdapatnya
elemen-elemen penipuan dengan cara menyalahgunakan badan hukum perseroan.
5. Terjadi
transfer modal/asset perseroan kepada pemegang saham.
6. Keputusan
diambil tanpa memenuhi formalitas terlebih dahulu, misalnya tidak dilakukan
RUPS untuk kegiatan yang memerlukan RUPS.
7. Perseroan
tersebut hanya sebagai Alter Ego dari pemegang saham yang bersangkutan.
8. Dll.
Sebagaimana diketahui bahwa penerapan teori Pierce The
Corporate Veil ke dalam tindakan hukum suatu perseroan, menyebabkan tanggung
jawab tidak hanya dimintakan dari perseroan tersebut (meskipun dia berbentuk
badan hukum), tetapi pertanggungjawaban hukum dapat juga dimintakan terhadap
pemegang sahamnya, bahkan direksi juga komisaris dalam perkembangannya. Berikut
penjelasannya :
1.
Beban Tanggung Jawan Dipindahkan Ke
Pihak Pemegang Saham.
Hal ini diatur dalam UUPT dalam
pasal 3 ayat (2), pasal 7 ayat (6), dan ketentuan pasal lainnya dalam UUPT.
Pasal 3 ayat (1) dan (2) yang menyatakan :
1) Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung
jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak
bertanggung jawab atas kewgian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.
2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
a.
persyaratan
Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b.
pemegang
saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk
memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
c.
pemegang
saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh Perseroan; atau
d.
pemegang
saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan
hukum menggunakan kekayaan Perseroan, Yang mengakibatkan kekayaan Perseroan
menjadi tidak cukup untuk melunasi utang
Perseroan.
pasal
7 ayat (6) menyatakan :
“Dalam ha1 jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap
kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas
segala perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan,
pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut.”
Selanjutnya masih terdapat hal-hal lain
yang mengakibatkan timbulnya konsekuensi dibebankannya tanggung jawab hukum ke
pundak pemegang saham, yaitu :
1.
Campur
Aduk Antara Urusan Pribadi dengan Urusan Perseroan
Contoh
adanya campur aduk antara urusan pribadi dengan urusan perseroan antara lain
sebagai berikut:
a.
Dana
perusahaan digunakan untuk urusan pribadi.
b.
Aset
milik perseroan diatasnamakan pribadi.
c.
Pembayaran
perseroan dengan cek pribadi tanpa justifikasi yang jelas.
2.
Alter
Ego Pemegang Saham
Dalam
hal ini perusahaan hanya sebagai instrument untuk mencari keuntungan pemegang
saham. Dalam hal ini perseroan disebut juga sebagai instrumentally, dummy, atau agent dari pemegang saham.
3.
Jaminan
Pribadi Dari Pemegang Saham.
Hal
ini terjadi apabila pemegang saham memberikan jaminan bagi kontrak-kontrak atau
bisnis yang dibuat oleh perusahaannya,sehingga dengan sendirinya Pemegang Saham
ikut bertanggung jawab manakala adanya gugatan dari pihak ketiga atas kerugian
yang erbit dari kegiata yang bergaransi tersebut. Kapan dan sejauhmana pihak
pemegang saham bertanggung jawabm bergantung
pada isi dari perjanjian jaminan garansi tersebut. Hal ini dikenal
sebagai salah satu penerapan teori
Pierce The Corporate Veil secara kontraktual.
4.
Permodalan Yang Tidak Layak
Permodalan yang tidak layak misalnya
modal terlalu kecil padahal bisnis perusahaan adalah besar. Karena kewajiban
pemegang sahamlah yang harus menyetor tambahan modal.
2.
Beban Tanggung Jawan Dipindahkan Ke
Pihak Direksi.
Penerapan prinsip Pierce The
Corporate Veil diterapkan kepada direksi yang menyebabkan direksi
bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan dalam hal berikut ini :
a. Direksi tidak melaksanakan Fiduciary
duty kepada perseroan (pasal 97 ayat (2) dan (3))
b. Perusahaan belum dilakukan
pendaftaran dan pengumuman (belum badan hukum)
c. Dokumen penghitungan Tahuna tidak
benar
d. Permodalan tidak layak
e. Perseroan beroperasi tidak layak
f.
Direksi
bersalah dan menyebabkan perusahaan pailit
3.
Beban Tanggung Jawan Dipindahkan Ke
Pihak komisaris.
Penerapan prinsip Pierce The
Corporate Veil diterapkan kepada direksi yang menyebabkan direksi
bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan dalam hal berikut ini :
a. Komisaris tidak melaksanakan
Fiduciary duty kepada perseroan. (pasal 114 ayat (2) dan (3))
b. Dokumen penghitungan tahunan tidak
benar [3]
[1]
Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Eksistensinya Dalam
Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, (2002), Hlm. 1
[2]
Ibid, Hlm. 8.
[3]
Ibid, Hlm. 17-28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar