Selasa, 26 Januari 2016




DOKTRIN PIERCE THE CORPORATE VEIL DALAM PERSEROAN DAN PENERAPANNYA

Teori dalam hukum perusahaan yang dikenal dengan teori Penyingkapan Tirai Perusahaan (Doktrin Pierce The Corporate Veil) ini merupakan topik yang sangat popular dalam hukum perusahaan, bukan saja dalam tata hukum Indonesia, melainkan juga dalam tata hukum modern di kebanyakan Negara lain. Istilah lain dari teori ini disebut juga (Lifting The Corporate Veil) atau (Going Behind The Corporate Veil). Penerapan teori ini mrmpunyai misi yang utama yaitu untuk mencapai keadilan khususnya bagi pihak ketiga dengan pihak perusahaan yang mempunyai hubungan hukum tertentu. [1]
Istilah Pierce The Corporate Veil diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain, atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan pelaku tersebut. Dalam hal seperti ini pengadilan akan mengabaikan status badan hukum dari perusahaan tersebut, dan membebankan tanggung jawab kepada pihak “Organizers) dan “Managers” dari perseroan tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas dari perseroan sebagai badan badan hukum yang biasanya dinikmati oleh mereka. Dalam melakukan hal tesebut, biasanya dikatakan bahwa pengadilan telah Mengoyak/menyingkapi tirai perusahaan (To Pierce The Corporate Veil) (Friedman, Jack P., 1987 :432 ).[2]
Black’s Law Dictionary mendefinisikan prinsip piercing the corporate veil sebagai:
Judicial process whereby court disregard usual immunity of corporate officers or entities from liability for wrongful corporate activities; e.g. when incorporation exists for sole purpose or perpetrating fraud. The doctrine will holds that the corporate structure with its attendant limited liability of stockholders, officers and directors in the case of fraud or other wrongful acts done in the name of corporation. The court, however, may look beyond the corporate from only for the defeat of fraud or wrong or the remedying injutice”.
Adapun yang merupakan kriteria dasar dan universal agar suatu Piercing The Corporate Veil secara hukum dapat dijatuhkan adalah sebagai berikut :
1.      Terjadinya penipuan
2.      Didapatkan suatu ketidakadilan
3.      Terjadinya suatu penindasan
4.      Tidak memenuhi unsur hukum (illegality)
5.      Dominasi pemegang saham yang berlebihan
6.      Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritas
Terdapat beberapa fakta yang secara universal diterapkannya teori Pierce The Corporate Veil antara lain sebagai berikut:
1.      Permodalan yang tidak layak (terlalu kecil). Modal yang tidak layak ini menjadi factor yang krusial, apalagi terhadap perusahaan public atau perusahaan finansial, seperti bank, asuransi, dll.
2.      Penggunaan dana perusahaan secara pribadi.
3.      Ketidakadaan formalitas eksistensi perseroan.
4.      Terdapatnya elemen-elemen penipuan dengan cara menyalahgunakan badan hukum perseroan.
5.      Terjadi transfer modal/asset perseroan kepada pemegang saham.
6.      Keputusan diambil tanpa memenuhi formalitas terlebih dahulu, misalnya tidak dilakukan RUPS untuk kegiatan yang memerlukan RUPS.
7.      Perseroan tersebut hanya sebagai Alter Ego dari pemegang saham yang bersangkutan.
8.      Dll.
Sebagaimana diketahui bahwa penerapan teori Pierce The Corporate Veil ke dalam tindakan hukum suatu perseroan, menyebabkan tanggung jawab tidak hanya dimintakan dari perseroan tersebut (meskipun dia berbentuk badan hukum), tetapi pertanggungjawaban hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya, bahkan direksi juga komisaris dalam perkembangannya. Berikut penjelasannya :
1.      Beban Tanggung Jawan Dipindahkan Ke Pihak Pemegang Saham.
Hal ini diatur dalam UUPT dalam pasal 3 ayat (2), pasal 7 ayat (6), dan ketentuan pasal lainnya dalam UUPT.
Pasal 3 ayat (1) dan (2) yang menyatakan :
1)      Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kewgian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.
2)     Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
a.       persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b.      pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
c.       pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
d.      pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, Yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak  cukup untuk melunasi utang Perseroan.

pasal 7 ayat (6) menyatakan :
Dalam ha1 jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut.”
Selanjutnya masih terdapat hal-hal lain yang mengakibatkan timbulnya konsekuensi dibebankannya tanggung jawab hukum ke pundak pemegang saham, yaitu :
1.      Campur Aduk Antara Urusan Pribadi dengan Urusan Perseroan
Contoh adanya campur aduk antara urusan pribadi dengan urusan perseroan antara lain sebagai berikut:
a.       Dana perusahaan digunakan untuk urusan pribadi.
b.      Aset milik perseroan diatasnamakan pribadi.
c.       Pembayaran perseroan dengan cek pribadi tanpa justifikasi yang jelas.
2.      Alter Ego Pemegang Saham
Dalam hal ini perusahaan hanya sebagai instrument untuk mencari keuntungan pemegang saham. Dalam hal ini perseroan disebut juga sebagai instrumentally, dummy, atau agent dari pemegang saham.
3.      Jaminan Pribadi Dari Pemegang Saham.
Hal ini terjadi apabila pemegang saham memberikan jaminan bagi kontrak-kontrak atau bisnis yang dibuat oleh perusahaannya,sehingga dengan sendirinya Pemegang Saham ikut bertanggung jawab manakala adanya gugatan dari pihak ketiga atas kerugian yang erbit dari kegiata yang bergaransi tersebut. Kapan dan sejauhmana pihak pemegang saham bertanggung jawabm bergantung  pada isi dari perjanjian jaminan garansi tersebut. Hal ini dikenal sebagai salah satu penerapan teori Pierce The Corporate Veil secara kontraktual.
4.      Permodalan Yang Tidak Layak
Permodalan yang tidak layak misalnya modal terlalu kecil padahal bisnis perusahaan adalah besar. Karena kewajiban pemegang sahamlah yang harus menyetor tambahan modal.
2.      Beban Tanggung Jawan Dipindahkan Ke Pihak Direksi.
Penerapan prinsip Pierce The Corporate Veil diterapkan kepada direksi yang menyebabkan direksi bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan dalam hal berikut ini :
a.       Direksi tidak melaksanakan Fiduciary duty kepada perseroan (pasal 97 ayat (2) dan (3))
b.      Perusahaan belum dilakukan pendaftaran dan pengumuman (belum badan hukum)
c.       Dokumen penghitungan Tahuna tidak benar
d.      Permodalan tidak layak
e.       Perseroan beroperasi tidak layak
f.        Direksi bersalah dan menyebabkan perusahaan pailit
3.      Beban Tanggung Jawan Dipindahkan Ke Pihak komisaris.
Penerapan prinsip Pierce The Corporate Veil diterapkan kepada direksi yang menyebabkan direksi bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan dalam hal berikut ini :
a.       Komisaris tidak melaksanakan Fiduciary duty kepada perseroan. (pasal 114 ayat (2) dan (3))
b.      Dokumen penghitungan tahunan tidak benar [3]





[1] Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, (2002), Hlm. 1
[2] Ibid, Hlm. 8.
[3] Ibid, Hlm. 17-28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar