BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berlakunya
Undang-Undang RI No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) telah Menimbulkan perubahan fundamental baik secara konsepsional
maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara di Indonesia.
Sebelum berlakunya UU RI No.8 thn 1981, hukum acara pidana di Indonesia
memiliki sejarah panjang dalam perkembangannya. Hukum acara pidana di Indonesia
dimulai dari masa penjajahan Belanda terhadap bangsa Indonesia.
Setelah berlakunya KUHAP,
pemeriksaan perkara pidana di pengadilan terbagi menjadi 3 jenis pemeriksaan,
yaitu :
1. Pemeriksaan perkara dengan acara biasa.
2. Pemeriksaan perkara dengan acara
singkat.
3. Pemeriksaan perkara dengan acara
cepat.
Dalam
makalah ini penulis akan menguraikan secara khusus mengenai proses penyelesaian
perkara pidana di pengadilan dengan acara biasa. Hal ini ditujukan agar penulis
maupun pembaca dapat lebih memahami penyelesaian perkara di pengadilan dengan
acara biasa.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun yang menjadi rumusan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
A. Apa saja
asas-asas dalam Kitab
Undang- Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia?
B.
Bagaimana
penggolongan tindana pidana yang termasuk dalam pemeriksanaan dengan acara
biasa, cepat, dan singkat?
C.
Bagaimana Prosedur pelaksanaan
pemeriksaan perkara dipengadilan dengan acara biasa?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asas-Asas Hukum Acara Pidana di
Indonesia
Dalam Hukum Acara Pidana dikenal beberapa asas yang berlaku
dalam melaksanakan hukum acara pidana, yaitu :
1.
Asas
Legalitas ( Nullum Delictum Nulla Poena Sine
Previa Lege Poenali )
Legalitas
berasal dari kata legal (latin), aslinyalegalis, artinya
sah menurut undang-undang. Asas legalitas di kenal sebagai berikut:
1) Dalam hukum pidana mengatakan “
tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada (Nullum Delictum
Nulla Poena Sine Previa Lege Poenali). Asas ini terdapat dalam pasal 1 ayat 1
KUHP.
2) Setiap perkara pidana harus diajukan
ke depan hakim. ( Lihat Konsideran KUHAP huruf ‘a’. kemudian selain asas ini
juga ada asas Oportunitas yaitu seseorang tidak dapat dituntut oleh jaksa
karena dengan alasan dan pertimbangn Demi Kepenringan Umum jadi dalam hal ini
dideponer (dikesampingkan). Walaupun asas ini dianggap bertolak belakang dengan
asas legalitas namun dalam UU Pokok Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 1961, pasal
8 memberi kewenangan kepada Kejaksaan Agung untuk mendeponer/ menyampingkan
suatu perkara berdasarkan ‘’Demi Kepentingan Umum’’. Hal ini dipertegas lagi
dalam pejelasan KUHAP pasal 77 yang berbunyi: yang dimaksud ‘’penghentian
penuntutan’’ tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang
menjadi wewenang Jaksa Agung.
2. Asas Perlakuan Yang Sama Di Muka Hukum
(Equality Before The Law)
Asas ini sesuai dengan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5
Ayat 1 yang berbunyi: Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang. Terdapat juga dalam penjelasan umum KUHAP butir 3 a yang
berbunyi: perlakuaan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
3. Asas Praduga Tak Bersalah (
Presumption Of Innocent )
Asas ini dapat di jumpai dalam penjelasan umum KUHAP butir 3
huruf c. juga dirumuskan dalam UU Pokok kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun
1970, Pasal 8 yang berbunyi: “ setiap orang yang sudah disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib
dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Menurut M. Yahya Harahap, asas praduga tak bersalah di
tinjau dari segi teknis penyidikan dinamakan “ Prinsip Akusator “.
Prinsip Akusator menempatkan kedudukan tersangka / Terdakwa
dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek
pemeriksaan. Oleh karena itu tersangka / Terdakwa harus didudukkan dan
diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga
diri. Yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan (
tindak Pidana ) yang dilakukan oleh tersangka atau Terdakwa, maka kearah itulah
pemeriksaan ditujukan.
4. Asas Penangkapan, Penahanan,
Penggeledahan, Dan Penyitaan Dilakukan Berdasarkan Perintah Tertulis Pejabat
Yang Berwenang.
Asas ini terdapat dalam penjelasan umum KUHAP butir 3 b.
Penangkapan diatur secara rinci dalam pasal 15 sampai pasal 19 KUHAP. Dalam
peradilan Militer diatur dalam pasal 75 sampai 77 UU No. 31 Tahun 1997.
Penahanan diatur dalam pasal 20 sampai 31 KUHAP. Dalam
peradilan Militer diatur dalam pasal 78 sampai 80, dan pasal 137 dan pasal 138
UU No. 31 Tahun 1997. Dalam KUHAP dan Peradilan Militer juga mengatur mengenai
Pembatasan penahanan.
Penggeledahan diatur dalam pasal 32 sampai pasal 37 KUHAP. Dalam peradilan
Militer diatur dlam pasal 82 samapi pasal 86 UU No. 31 Tahun 1997.
Tentang Penyitaan diatur dalam pasal 38 sampai pasal 46
KUHAP. Dalam peradilan Militer diatur dalam pasal 87 sampai pasal 95 UU No. 31
Tahun 1997.
5. Asas Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi
Asas ini juga terdapat dalam penjelasan umum KUHAP butir 3
d. Pasal 9 UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 yang juga mengatur
ganti rugi. Secara rinci mengenai ganti rugi dan rehabilitasi diatur dalam
pasal 95 sampai pasal 101 KUHAP.
Kepada siapa ganti rugi ditujukan, memang hal ini tidak
diatur secara tegas dalam pasal-pasal KUHAP. Namun pada tanggal 1 Agustus 1983
dikeluarkan peraturan pelaksananya pada bab IV PP No. 27 / 1983. Dengan
peraturan ini ditegaskan bahwa ganti kerugian dibebankan kepada negara (
depertemen keuangan ). Dengan tata cara pembayarannya Menteri keuangan juga
mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 983 / KMK. 01 / 1983 pada tanggal
31 esember 1983.
Selain itu juga terdapat penggabungan pidana dengan ganti
rugi yang terdapat dalam pasal 98 sampai pasal 101 KUHAP.
6. Asas Peradilan Cepat, Sederhana Dan
Biaya Ringan.
Tidak bertele-tele dan berbelit-belit. Mengenai asas ini
terdapat beberapa ketentuan dalam KUHAP diantaranya pada pasal 50 yang
berbunyi: Tersangka atau Terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan penyidik,
segera diajukan ke penuntut umum oleh penyidik, segera diajukan ke pengadilan
oleh penuntut umum, segera diadili oleh pengadilan. Juga pasal-pasal lain yaitu
pasal 102 ayat 1, pasal 106, pasal 107 ayat 3 dan pasal 140 ayat 1.
Tentang asas ini juga dijabarkan oleh KUHAP dalam pasal 98.
7. Asas Tersangka / Terdakwa Berhak
Mendapat Bantuan Hukum.
KUHAP pasal 69 sampai pasal 74 mengatur Bantuan Hukum yang mana tersangka atau Terdakwa
mendapat kebebasan yang sangat luas.Asas bantuan hukum ini telah menjadi
ketentuan universal di negara-negara demokrasi dan beradab.
8. Asas Pengadilan Memeriksa Perkara
Pidana dengan Hadirnya Terdakwa.
Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam pasal 154, 155 dan seterusnya dalam
KUHAP. Yang menjadi pengecualiannya ialah kemungkinan dijatuhkan putusan tanpa
hadirnya Terdakwa yaitu putusan Verstek atau in
Absentia tapi ini hanya dalam pengecualian dalam acara pemeriksaan
perkara pelanggaran lalu lintas. Pasal 214 mengatur mengenai acara pemeriksaanverstek.
Dalam hukum acara pidana khusus seperti UU No. 31 Tahun 1971 Tentang Tindak
Pidana Korupsi dan lainnya dikenal pemeriksaan pengadilan secara in
absentia atau tanpa hadirnya Terdakwa.
9. Asas Peradilan Terbuka Untuk Umum.
Pasal yang mengatur asas ini adalah pasal 153 ayat 3 dan 4
KUHAP yang berbunyi: Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua membuka siding dan
menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara mengadili kesusilaan atau Terdakwanya
anak-anak.
2.2 Penggolongan
tindak pidana yang termasuk dalam Pemeriksanaan dengan acara Biasa, Cepat, dan
Singkat
Dalam hukum
acara pidana di Indonesia terdapat beberapa macam proses beracara. Untuk dapat membedakan acara
pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dapat di lihat dari jenis tindak
pidana yang akan di ajukan ke muka sidang pengadilan. Hal tersebut dilihat
berdasarkan hal-hal sebagaimana berikut ini :
1.
Perkara
yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan pembuktiannya sulit atau mudah.
2.
Berat
ringannya ancaman pidana atas perkara yang akan diajukan ke muka sidang
pengadilan.
3.
Jenis
perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan.
Atas perbedaan kategori dari
tiap-tiap perkara yang akan di ajukan ke muka sidang pengadilan, menurut KUHAP
ada tiga jenis acara pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan:
1.
Acara
pemeriksaan biasa di atur dalam KUHAP bagian ketiga Bab XVI
2.
Acara
pemeriksaan singkat di atur dalam KUHAP bagian kelima Bab XVI
3.
Acara
pemeriksaan cepat diatur dalam KUHAP bagian keenam Bab XVI, yang terdiri dari:
a)
Acara
pemeriksaan perkara tindak pidana ringan
b)
Acara
pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
a.
Acara
Pemeriksaan Biasa
Dalam
Undang-undang tidak memberikan batasan tentang perkara-perkara yang mana yang
termasuk pemeriksaan biasa. Hanya pada pemeriksaan singkat dan cepat saja
diberikan batasan.
Pada
dasarnya, acara pemeriksaan biasa sebenarnya berlaku juga bagi pemeriksaan
singkat dan cepat, kecuali dalam hal-hal tertentu yang secara tegas dinyatakan
lain.
Namun ada kriteria tertentu mengenai acara pemeriksaan biasa, yaitu:
· Umumnya
tindak pidana yang diancam hukuman 5 (lima) tahun ke atas
· Masalah
pembuktiannya memerlukan ketelitian
· Ditinjau
dari segi pengaturan dan kepentingan, acara pemeriksaan biasalah yang paling
luas dan paling utama, karena dalam acara pemeriksaan biasa dilakukan
pemeriksaan perkara-perkara tindak pidana kejahatan berat, sehingga fokus pengaturan
acara pemeriksaan biasa pada umumnya terletak pada ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam pasal-pasal acara pemeriksaan biasa.
· Biasa
diatur dalam Bagian Ketiga, Bab XVI KUHAP
b.
Acara
pemeriksaan singkat
Acara
pemeriksaan singkat adalah perkara-perkara yang sifatnya bersahaja, khususnya
mengenai soal pembuktian dan pemakaian undang-undang, dan yang dijatuhkan
hukuman pokoknya yang diperkirakan tidak lebih berat dari hukum pernjara selama
1 tahun. Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara
kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 205 KUHAP (acara pemeriksaan tindak pidana ringan) dan
yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan
sifatnya sederhana dimana dalam perkara ini penuntut umum menghadapkan Terdakwa
beserta saksi, ahli, juru bahasa, dan barang bukti yang diperlukan. Hal ini
ditentukan dalam pasal 203 ayat (1) dan (2) KUHAP. Hakim ketua sidang kemudian
menerangkan identitas Terdakwa, seperti: nama lengkap, umur/tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan serta
mengingatkan Terdakwa untuk memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan
dilihatnya dalam sidang pengadilan (Pasal 155 ayat (1) KUHAP).
Namun
perlu ditekankan kepada penjelasan bahwa sifat pembuktian serta penerapan hukum
acara pidana dalam proses ini adalam mudah dan sederhana. Sebab kata “mudah”
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak memerlukan banyak tenaga dan
pikiran dalam mengerjakan sesuatu, tidak sukar, tidak berat, gampang. Dengan
demikian, pembuktian dan penerapan hukum adalah gampang, tidak sukar, dan tidak
perlu menggunakan banyak pikiran dalam mengerjakan segala sesuatunya.
c.
Acara
pemeriksaan cepat
Pemeriksaan
dengan acara cepat diatur dalam bagian keenam Bab XVI KUHAP. Ketentuan tentang
acara pemeriksaan biasa berlaku pula pada pemeriksaan cepat dengan pengecualian
tertentu, hal ini berdasarkan pasal 210 KUHAP yang menyatakan bahwa ” ketentuan
dalam Bagian kesatu, Bagian kedua, dan Bagian ketiga ini ( bab 16) tetap
berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan paragraf ini “.
Pemeriksaan
cepat terbagi dalam dua paragraf :
1)
Acara pemeriksaan tindak pidana ringan,
termasuk delik yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama
tiga bulan dan atau denda sebanyak – banyaknya tujuh ribu lima ratus dan
penghinaan ringan
2)
Acara pemeriksaan pelanggaran lalu
lintas jalan, termasuk perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan
perundang – undangan lalu lintas.
2.3 Prosedur
pelaksanaan pemeriksaan perkara dipengadilan dengan acara biasa
Sebelum memasuki materi pemeriksaan
sidang dengan acara biasa ada baiknya perlu
dipahami terlebih dahulu prinsip yang harus ditegakkan dan dipedomani.
Prinsip-prinsip pemeriksaan persidangan, bukan hanya ditunjukan landasan bagi
aparat tapi juga penting diketahui dan didasari Terdakwa sebagaimana diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia.
1. Pemeriksaan
Terbuka Untuk Umum
semua persidangan terbuka untuk
umum. Pada saat majelis hakim hendak membuka sidang, harus menyatakan “sidang
terbuka untuk umum” setiap orang yang hendak mengikuti jalannya persidangan,
harap hadir memasuki ruangan sidang pintu dan jendela ruangan sidang pun terbuka,
sehingga dengan demikian makna prinsip persidangan terbuka untuk umum
benar-benar tercapai.
Tentu ada pengecualian, dalam pasal 153 ayat 3, tempat dimana
tercantum prinsip ini, menyebut pengecualian, dalam pemeriksaan perkara
kesusilaan atau perkara Terdakwanya anak-anak, sidang di lakukan dengan “pintu
tertutup”, sesuai dengan ketentuan pasal 153 ayat 40, pelangaran atas prinsip
ini, negakibatkan. “ batalnya putusan” demi hukum.
a. Hadirin
Harus Bersikap Hormat
Mereka
harus sopan dan tidak menimbulkan kegaduhan di ruang sidang. Barang siapa yang
menunjukan sikap tidak hormat serta tidak tertib dalam ruangan sidang ketua
sidang dapat memerintahkan orang yang bersangkutan di keluarkan dari ruangan
sidang. Perintah mengeluarkan ini dapat dilakukan ketua sidang setelah
yang bersangkutan “diperingati” lebih dulu, namun tetap tidak diindahkannya
(pasal 218 ayat 2).
Seandainya
sifat pelangaran tata tertib yang dilakukan oleh salah seorang pengunjung
merupakan tindak pidana, hal itu tidak mengurangi kemungkinan terhadapnya
dilakukan penuntutan ( pasal 218 ayat 3 ).
b. Larangan
Membawa Senjata Api
dalam
pasal 219 di tegaskan, guna menjamin keselamatan terhadap manusia yang berada
dlam ruangan sidang, setiap pengunjung sidang “dilarang” membawa senjata api,
senjata tajam, bahan peledak, atau alat maupun benda yang dapat membahayakan
kemanan sidang. Larangan ini berlaku terhadap siapa pun tanpa keculai. Bagi
mereka yang membawa alat atau benda-benda larangan “wajib” menitipkan di tempat
yang kusus di sediakan untuk itu.
c. Harus
Hadir Sebelum Hakim Memasuki Ruang Sidang
ketentuan
ini bukan hanya berlaku bagi pengunjung sidang, tetapi berlaku bagi panitera,
penuntut umum, penasehat hukum sebagai mana di jelaskan dalam pasal 232:
-
Sebelum
sidang di mulai, panitera, penunutut umum, penasehat hukum dan pengunjung yang
sudah ada, duduk di tempatnya masing-masing dalam ruangan sidang.
-
Pada
saat hakim memasuki dan meninggalkan ruangan sidang, semua yang hadir berdiri
untuk hormat.
-
Selama
sidang berlangsung , setiap orang yang keluar masuk ruangan sidang, diwajibkan
memberi hormat
Hal ini yang perlu diingat
sehubungan dengan prinsip persidangan yang terbuka untuk umum adalah yang yang
berkenaan dengan pasal 153 ayat 5 beserta penjalasannya.
2. Hadirnya Terdakwa
Dalam Persidangan
Hukum tidak membenarkan proses
peradilan in absentia dalam acara pemeriksaan biasa dan
pmeriksaan acara singkat. Tanapa hadirnya Terdakwa dalam persidangan,
pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan. Itu sebabnya pasal 154 mengatur ,
bagaimana cara menghadirkan Terdakwa dalam persidangan. Tata cara
tersebut memperlihatkan tanpa hadirnya Terdakwa dalam persidangan,
pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan .
Dalam hal ketidakhadiran Terdakwa
dipersidangan maka hal-hal yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Apabila
disebabkan Surat Panggilan Belum Sah (Pasal 145 dan 146 KUHAP)
1) Persidangan
ditunda pada tanggal dan hari berikutnya.
2) Penundaan
hari sidang tersebut dibarengi dengan perintah dari Majelis Hakim kepada penuntut
umum untuk memanggil Terdakwa pada hari dan tanggal sidang berikutnya.
b. Menghadirkan
Terdakwa Secara Paksa
1) Ketidakhadiran
tanpa alasan yang sah
a) Sidang
ditunda pada hari dan tanggal berikutnya.
b) Ketua
Majelis memerintahkan untuk memanggil Terdakwa sekali lagi.
c) Jika
panggilan kedua, Terdakwa tidak hadir lagi tanpa alasan yang sah :
-
Ketua Majelis menunda hari dan tanggal
sidang; dan
-
Ketua Majelis memerintahkan penuntut
umum untuk menghadirkan Terdakwa secara paksa.
2) Ketidakhadiran
dengan alasan yang sah
a)
Ketua Majelis menunda dan mengundurkan
sidang; dan
b)
Memerintahkan penuntut umum untuk
memanggil Terdakwa sekali lagi.
c. Terdakwa
Terdiri dari Beberapa Orang, Namun Hanya Beberapa yang Hadir
1) Menunda
dan mengundurkan persidangan tanpa memeriksa Terdakwa yang hadir; atau
2) Memeriksa
para Terdakwa yang hadir.
3) Terhadap
Terdakwa yang tidak hadir, hakim memerintahkan penuntut umum untuk memanggil Terdakwa
sekali lagi.
4) Jika
Terdakwa yang tidak hadir tersebut setelah dipanggil untuk kedua kalinya tidak hadir,
maka akan dihadirkan secara paksa oleh penuntut umum.
5) Ketidakhadiran
Terdakwa pada sidang hari terakhir, hanya tinggal membaca putusan. Putusan
dapat diucapkan dengan hadirnya Terdakwa yang ada saja (Pasal 196 ayat (2) KUHAP).
Dengan catatan :
a) Terdakwa
telah pernah hadir, tapi belum diperiksa dan didengar keterangannya di persidangan.
Putusan diucapkan terhadap Terdakwa yang hadir saja. Sementara
b) terhadap
terhadap Terdakwa yang pernah hadir, tapi belum cukup diperiksa dan didengar
keterangannya, tidak boleh dijatuhkan putusan terhadap mereka.
Untuk melengkapi pembahasan
ketidakhadiran Terdakwa menghadap pada tanggal hari persidangan yang telah
ditentukan, perlu diperhatikan ketentuan pasal 154 ayat 7 yang menyangkut tugas
dan kewajiban panitera yang mendampingi untuk mencatat dalam berita acara
persidangan mengenai laporan penuntut umum tentang pelaksanaan perintah
pemanggilan yaitu:
a. Dalam hal pemanggilan belum sah,
panitera harus mencatat dalam beriat acara perintah hakim pada penunutu umum
untuk memanggil Terdakwa pada sidang berikutnya
b. Demikian juga dalam ketidakhadiran Terdakwa
tanpa alasan yang sah, dan ketidak hadiran yang tidak itu sudah dua kali maka
jika dalam peristiwa ini hakim mengeliarkan perintah kepada penuntut umum agar Terdakwa
dihadirkan dengan paksa, panitera mencatat perintah tersebut dalam berita
acara.
3.
Ketua Sidang Memimpin Pemeriksaan
Ini diatur dalam pasal 217 yang
mmenegaskan hakim ketua sidang brtindak memimpin jalannya pemeriksaan
pesidangan,, dan memelihara tata tertib persidangan prinsip ini sesuai dengan
system pembuktian yang dianut undang-undang, yakni system pebuktian
undang-undang secara negative. Mewajibkan hakim mencari kebenaran hakiki di
dalam membuktikan kesalahan Terdakwa berdsarkan batas minimum pembuktian
menurut undang-undang dengan alat bukti yang sah.
4. Pemeriksaan
Secara Langsung Dengan Lisan
Pasal 153 ayat 2 huruf a menyatakan
:
a. Ayat 1 “ Pada hari yang ditentukan
menurut pasal 152 pengadilan bersidang.”
b. Ayat 2 a “Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di
sidang pengadilan dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti
oleh Terdakwa atau saksi.”
c. Ayat 2 b “ Ia wajib menjaga supaya
tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan Terdakwa atau
saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.”
d. Ayat 3 “untuk keperluan pemeriksaan,
hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali
dalam memberikan jawaban secara tidak bebas.”
e. Ayat 4 “tidak dipenuhi ketentuan
dalam ayat 2 dan 3 mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”
5.
Wajib Menjaga Pemeriksaan Secara Bebas
Sesuai dengan pasal 153 ayat 2 huruf
b, pemeriksaan terhadap Terdakwa atau saksi “dilakukan dengan tegas”.terhadap
mereka tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan Terdakwa
atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas. Baik kepada Terdakwa
maupun kepada saksi tidak boleh dilakukan “penekanan atau ancaman”
yang bias menimbulkan hilangnya kebebasan mereka memberikan keterangan.
Bahkan pertanyaan yang “bersifat menjerat” tidak boleh diajukan baik terhadap Terdakwa
maupun terhadap saksi, sebagai mana diatur dalam pasal 166 KUHAP.
6. Pemeriksaan
Lebih Dulu Mendengarkan Keterangan Saksi
Dalam pasal 160 ayat 1 huruf b yang
menegaskan “pertama-tama di dengar keterangannya adalh korban yan menjadi
saksi”. Untuk menguatkan alasan mendahulukan pemeriksaan pendengaran
keteranagan saksi dari Terdakwa, pasal ini di hubungkan dengan pasal 184 ayat 1
yang menempatkan urutan alat bukti keterangan saksi pada urutan yang pertama.
Sedangkan urutan alat bukti keterangan Terdakwa di tempatkan pada urutan yang
terakhir.
Setelah membahas mengenai hal-hal
prinsipil yang harus diketahui dalam pemeriksaan dipersidangan, maka saat ini
kita akan membahas mengenai proses pemeriksaan perkara dalam persidangan dengan
acara biasa.
Dalam pemeriksaan perkara dalam
persidangan dengan acara biasa di pengadilan dilakukan dalam berbagai tahap,
yaitu :
1.Pemeriksaan
Identitas Terdakwa
Pemeriksaan identitas Terdakwa
didahului pembukaan sidang oleh ketua. Pembukaan sidang harus dinyatakan “
terbuka untuk umum, seperti yang ditegaskan pasal 153 ayat 3 dan 4.
Setelah hakim membuka sidang serta
menyatakan terbuka untuk umum, hakim ketua memeriksa “identitas” Terdakwa
pemeriksaan dicocokkan dengan
identitas Terdakwa yang terdapat pada surat dakwaan dan berkas perkara, untuk
memastikan dan memastikan dan menyakinkan persidangan memang Terdakwalah yang
di maksud dalam surat dakwaan kepadanya.
2.
Memperingatkan Terdakwa
Setelah selesai menanyakan identitas
Terdakwa, kewajiban ketua sidang sesuatu yang didengar dan dilihatnya di dalam
persidangan .
Persidangan ini tidak lebih dari
nasehat dan anjuran namun demikian sebaiknya hakim tidak hanya memperingatkan
untuk memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihat saja, tetapi perlu
memperingatlkan Terdakwa agar bersikap tenang, jangan takut dan jangan
ragu-ragu mengemukakan suatu yang di anggapnya penting untuk perlu pembelaan
diri, juga memperingatkan Terdakwasuatu yang di anggapnya penting.
3.
Pembacaan Surat Dakwaan
Selanjutnya “pembacaan surat
dakwaan”. Ketua sidang memerintahkan penuntut umum untuk membacakan surat
dakwaan.
4.
menanyakan isi surat dakwaan
Sesudah penuntut umum selesai
membacakan surat dakwaan , hakim harus bertanya kepada Terdakwa apakah dia
benar-benar memahami isi surat dakwaan, kalau Terdakwa belum mengerti, menurut
ketentuan pasal 155 ayat 2 huruf b, hakim dapat memerintahkan penuntut umum
untuk “ memberi penjelasan” lebih lanjut tentang hal-hal yang belum jelas di
pahami Terdakwa
5.
Hak Untuk Mengajukan Eksepsi
Pengertian eksepsi atau exception
adalah sebagai berikut :
a. Tangkisan atau pembelaan yang tidak
mengenai atau tidak ditujuki terhadap “materi pokok” surat dakwaan.
b. Tetapi keberatan atau pembelaan ditujukan
terhadap cacat “formal” yang melekat pada surat dakwaan.
Dalam pasal 156 ayat 1 KUHAP didefenisi eksepsi tidak di
rumuskan secara jelas.
·
Saat mengajukan eksepsi
Jika diperhatikan pasal 156 ayat 1
pengajuan keberatan yang menyangkut pembelaan atas alasan yang “formal” oleh Terdakwa
atau penasehat hukum adalah hak.
·
Klasifikasi eksepsi
Pasal 156 ayat 1 menyebutkan
berbagai jenis keberatan atau eksepsi yang dapat diajukan Terdakwa atau
penasehat hukumnya. Namun dalam eksepsi yang dikemukakan dalam uraian ini tidak
terbatas pada bentuk atau jenis eksepsi yang di sebutkan dalam pasal 156
a.
Eksepsi Kewenangan Mengadili
1)
Tidak
berwenang secara absolute
munculnya pesoalan kewenangan absolute mengadili,
sebagai akibat pasal 10 undang-undang No. 14/1970 yang telah menetapkan dan
membagi yuridis substantive.
2)
Tidak
berwenang secara secara relative
di sebut kewengan relative mengadili perkara di dsarkan pada
factor “daerah hukum” atau “wilayah hukum”
b.
Eksepsi Kewenangan Menuntut Gugur
Eksepsi lain yang tidak disebutkan dalam pasal 156 ayat 1
KUHAP, tetapi ditemukan dalam ketentuan perundang-undangan lain, antara lain
dalam KUHAP adalah eksepsi ynag menyatakan “kewenangan” penunutut umum untuk
menuntut “hapus” atau gugur.
Terhadap putusan ini, bentuk putusan yang di jatuhkan
pengadilan adalah putusan akhir, bukan putusan sela. Terbuka upaya banding dan
kasasi . apabila suatu telah berkekuatan tetap, langsung final dan mengikat,
tidak bisa diajukan lagi untuk kedua kalinya.
Perlu diingat, tanpa ada eksepsi pun
apa bila persidangan menemukan factor nebi in idem atau
kadaluarsa dalam perkara yang diperiksa. Hakim harus menjadikan sebagai dasar
putusan dengan amar mnyatakan kewenangan menuntut hapus atau gugur
6.
Pembuktian Atau Pemeriksaan Alat-Alat Bukti
Pembuktian merupakan masalah yang
memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan
pembuktian inilah ditentukan nasib Terdakwa, apa bila hasil penelitian dengan
alat-alat bukti seperti yang di tentukanoleh undang-undang tidak cukup
membuktikan kesalahan yang di dakwakan kepada, maka Terdakwa dibebaskan dari
hukuman.
Tentang pembuktian ini diatur
dalam pasal 183 KUHAP
“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apa bila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah
yang bersalah melakukanya.”
Pasal 184 KUHAP Ayat 1 menyatakan alat
bukti yang sah ialah:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa
7.
Penuntutan Oleh Penuntut Umum
Penuntutan di kenal juga dengan
istilah requisitoir adalah langkah yang seharusnya diberikan
kepada jaksa penuntut umum dalam lanjutan sidang pengadilan suatu perkara
pidana setelah pemeriksaan alat-alat bukti atau pembuktian. Setelah pemerikasan
dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.
Pasal 182 KUHAP Ayat 2 “jika acara tersebut pada ayat 1
telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaaan dinyatakan
tertutup dengan ketentuan dapat membuka sekali lagi, baik atas kewenangan hakim
ketua sidang karena jabatanya, maupun atas permintaaan penuntut umum atau Terdakwa
atau penasehat hukum dengan memberikan alasanya.
8.
Pembelaan (Pleidoi) Penasehat Hukum
Setelah penuntutan dilakukan
penunutut umum, kemudian kepada Terdakwa atau penasehat hukum di berikan
kesempatan untuk mengajukan pembelaan atau pleidoi di atur dalam pasal 182
KUHAP
Ayat 1 b. “selanjutnya Terdakwa atas
penasehat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat jawab oleh penuntut
umum, dengan ketentuan Terdakwa atau penasehat hukum mendapat giliran
terakhir.”
9.
Pembacaan Putusan Majelis Hakim
Jenis
Putusan Dalam Pengadilan Pidana, Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan sangat
tergantung dari hasil musyawarah Majelis Hakim yang berpangkal dari Surat
Dakwaan dengan segala sesuatu pembuktian yang berhasil dikemukakan di depan
Pengadilan.
Untuk itu,
ada beberapa jenis putusan Final yang dapat dijatuhkan oleh Pengadilan
diantaranya:
a.
Putusan Bebas
Dalam hal ini berarti Terdakwa
dinyatakan bebas dari tuntutan hukum. Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP
putusan bebas terjadi bila Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
di sidang Pengadilan kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terbukti adanya unsur perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa.
b.
Putusan Lepas
Dalam hal ini berdasarkan Pasal 191
ayat (2) KUHAP Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa
terbukti, namun perbuatan tersebut, dalam pandangan hakim, bukan merupakan
suatu tindak pidana.
c.
Putusan Pemidanaan
Dalam hal ini berarti Terdakwa secara sah dan meyakinkan
telah terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, oleh karena
itu Terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman pasal pidana yang
didakwakan kepada Terdakwa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Bahwa dalam Hukum Acara Pidana terdapat
beberapa asas yang mendasari penerapannya, yaitu :
a.
Asas Legalitas
( Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege Poenali )
b.
Asas Perlakuan Yang Sama Di Muka Hukum (Equality Before The Law)
c.
Asas Praduga Tak Bersalah ( Presumption Of Innocent )
d.
Asas Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Dan
Penyitaan Dilakukan Berdasarkan Perintah Tertulis Pejabat Yang Berwenang.
e.
Asas Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi
f.
Asas Peradilan Cepat, Sederhana Dan Biaya Ringan.
g.
Asas Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan
Hukum.
h.
Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan
Hadirnya Terdakwa.
i.
Asas Peradilan Terbuka Untuk Umum.
2.
Dalam hukum acara pidana di Indonesia
terdapat beberapa macam proses beracara yaitu Pemeriksaan dengan acara
biasa,singkat, dan cepat.
Untuk dapat membedakan acara pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dapat di
lihat dari jenis tindak pidana yang akan di ajukan ke muka sidang pengadilan.
Hal tersebut dilihat berdasarkan hal-hal sebagaimana berikut ini :
a. Perkara yang akan diajukan ke muka
sidang pengadilan pembuktiannya sulit atau mudah.
b. Berat ringannya ancaman pidana atas
perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan.
c. Jenis perkara yang akan diajukan ke
muka sidang pengadilan.
3.
Pemeriksaan
dengan acara dilakukan dalam tahapan proses sebagai berikut:
a. Pemeriksaan
Identitas Terdakwa
b. Memperingatkan
Terdakwa
c. Pembacaan
Surat Dakwaan
d. menanyakan
isi surat dakwaan kepada Terdakwa
e. menanyakan
Hak Untuk Mengajukan Eksepsi kepada Terdakwa
f. Pembuktian
Atau Pemeriksaan Alat-Alat Bukti
g. Penuntutan
Oleh Penuntut Umum (requisitoir)
h. Pembelaan
(Pleidoi) Penasehat Hukum
i.
Pembacaan Putusan Majelis Hakim
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-buku
1.
Makarao,
M. T. dan Suhasril.. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan
Praktek. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010/
2.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
3.
Hasudungan, Archie Michael dan Petra
M.E.J. Pattiwael, Diktat Hukum Acara
Pidana (Depok: Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2011.
4.
A.
Soetomo, Hukum Cara Pidana Indonesia dalam Praktek, Pustaka Kartini,1990.
5.
Darwan
Prints, Hukum Acara Pidana: Suatu
Pengantar, Jakarta: Djambatan, 1989.
Undang-Undang
Undang-Undang
RI No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
M. T. Makarao dan
Suhasril. 2010. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek. Bogor:
Ghalia Indonesia.