Selasa, 26 Januari 2016




DOKTRIN PIERCE THE CORPORATE VEIL DALAM PERSEROAN DAN PENERAPANNYA

Teori dalam hukum perusahaan yang dikenal dengan teori Penyingkapan Tirai Perusahaan (Doktrin Pierce The Corporate Veil) ini merupakan topik yang sangat popular dalam hukum perusahaan, bukan saja dalam tata hukum Indonesia, melainkan juga dalam tata hukum modern di kebanyakan Negara lain. Istilah lain dari teori ini disebut juga (Lifting The Corporate Veil) atau (Going Behind The Corporate Veil). Penerapan teori ini mrmpunyai misi yang utama yaitu untuk mencapai keadilan khususnya bagi pihak ketiga dengan pihak perusahaan yang mempunyai hubungan hukum tertentu. [1]
Istilah Pierce The Corporate Veil diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain, atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan pelaku tersebut. Dalam hal seperti ini pengadilan akan mengabaikan status badan hukum dari perusahaan tersebut, dan membebankan tanggung jawab kepada pihak “Organizers) dan “Managers” dari perseroan tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas dari perseroan sebagai badan badan hukum yang biasanya dinikmati oleh mereka. Dalam melakukan hal tesebut, biasanya dikatakan bahwa pengadilan telah Mengoyak/menyingkapi tirai perusahaan (To Pierce The Corporate Veil) (Friedman, Jack P., 1987 :432 ).[2]
Black’s Law Dictionary mendefinisikan prinsip piercing the corporate veil sebagai:
Judicial process whereby court disregard usual immunity of corporate officers or entities from liability for wrongful corporate activities; e.g. when incorporation exists for sole purpose or perpetrating fraud. The doctrine will holds that the corporate structure with its attendant limited liability of stockholders, officers and directors in the case of fraud or other wrongful acts done in the name of corporation. The court, however, may look beyond the corporate from only for the defeat of fraud or wrong or the remedying injutice”.
Adapun yang merupakan kriteria dasar dan universal agar suatu Piercing The Corporate Veil secara hukum dapat dijatuhkan adalah sebagai berikut :
1.      Terjadinya penipuan
2.      Didapatkan suatu ketidakadilan
3.      Terjadinya suatu penindasan
4.      Tidak memenuhi unsur hukum (illegality)
5.      Dominasi pemegang saham yang berlebihan
6.      Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritas
Terdapat beberapa fakta yang secara universal diterapkannya teori Pierce The Corporate Veil antara lain sebagai berikut:
1.      Permodalan yang tidak layak (terlalu kecil). Modal yang tidak layak ini menjadi factor yang krusial, apalagi terhadap perusahaan public atau perusahaan finansial, seperti bank, asuransi, dll.
2.      Penggunaan dana perusahaan secara pribadi.
3.      Ketidakadaan formalitas eksistensi perseroan.
4.      Terdapatnya elemen-elemen penipuan dengan cara menyalahgunakan badan hukum perseroan.
5.      Terjadi transfer modal/asset perseroan kepada pemegang saham.
6.      Keputusan diambil tanpa memenuhi formalitas terlebih dahulu, misalnya tidak dilakukan RUPS untuk kegiatan yang memerlukan RUPS.
7.      Perseroan tersebut hanya sebagai Alter Ego dari pemegang saham yang bersangkutan.
8.      Dll.
Sebagaimana diketahui bahwa penerapan teori Pierce The Corporate Veil ke dalam tindakan hukum suatu perseroan, menyebabkan tanggung jawab tidak hanya dimintakan dari perseroan tersebut (meskipun dia berbentuk badan hukum), tetapi pertanggungjawaban hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya, bahkan direksi juga komisaris dalam perkembangannya. Berikut penjelasannya :
1.      Beban Tanggung Jawan Dipindahkan Ke Pihak Pemegang Saham.
Hal ini diatur dalam UUPT dalam pasal 3 ayat (2), pasal 7 ayat (6), dan ketentuan pasal lainnya dalam UUPT.
Pasal 3 ayat (1) dan (2) yang menyatakan :
1)      Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kewgian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.
2)     Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
a.       persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b.      pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
c.       pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
d.      pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, Yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak  cukup untuk melunasi utang Perseroan.

pasal 7 ayat (6) menyatakan :
Dalam ha1 jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut.”
Selanjutnya masih terdapat hal-hal lain yang mengakibatkan timbulnya konsekuensi dibebankannya tanggung jawab hukum ke pundak pemegang saham, yaitu :
1.      Campur Aduk Antara Urusan Pribadi dengan Urusan Perseroan
Contoh adanya campur aduk antara urusan pribadi dengan urusan perseroan antara lain sebagai berikut:
a.       Dana perusahaan digunakan untuk urusan pribadi.
b.      Aset milik perseroan diatasnamakan pribadi.
c.       Pembayaran perseroan dengan cek pribadi tanpa justifikasi yang jelas.
2.      Alter Ego Pemegang Saham
Dalam hal ini perusahaan hanya sebagai instrument untuk mencari keuntungan pemegang saham. Dalam hal ini perseroan disebut juga sebagai instrumentally, dummy, atau agent dari pemegang saham.
3.      Jaminan Pribadi Dari Pemegang Saham.
Hal ini terjadi apabila pemegang saham memberikan jaminan bagi kontrak-kontrak atau bisnis yang dibuat oleh perusahaannya,sehingga dengan sendirinya Pemegang Saham ikut bertanggung jawab manakala adanya gugatan dari pihak ketiga atas kerugian yang erbit dari kegiata yang bergaransi tersebut. Kapan dan sejauhmana pihak pemegang saham bertanggung jawabm bergantung  pada isi dari perjanjian jaminan garansi tersebut. Hal ini dikenal sebagai salah satu penerapan teori Pierce The Corporate Veil secara kontraktual.
4.      Permodalan Yang Tidak Layak
Permodalan yang tidak layak misalnya modal terlalu kecil padahal bisnis perusahaan adalah besar. Karena kewajiban pemegang sahamlah yang harus menyetor tambahan modal.
2.      Beban Tanggung Jawan Dipindahkan Ke Pihak Direksi.
Penerapan prinsip Pierce The Corporate Veil diterapkan kepada direksi yang menyebabkan direksi bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan dalam hal berikut ini :
a.       Direksi tidak melaksanakan Fiduciary duty kepada perseroan (pasal 97 ayat (2) dan (3))
b.      Perusahaan belum dilakukan pendaftaran dan pengumuman (belum badan hukum)
c.       Dokumen penghitungan Tahuna tidak benar
d.      Permodalan tidak layak
e.       Perseroan beroperasi tidak layak
f.        Direksi bersalah dan menyebabkan perusahaan pailit
3.      Beban Tanggung Jawan Dipindahkan Ke Pihak komisaris.
Penerapan prinsip Pierce The Corporate Veil diterapkan kepada direksi yang menyebabkan direksi bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan dalam hal berikut ini :
a.       Komisaris tidak melaksanakan Fiduciary duty kepada perseroan. (pasal 114 ayat (2) dan (3))
b.      Dokumen penghitungan tahunan tidak benar [3]





[1] Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, (2002), Hlm. 1
[2] Ibid, Hlm. 8.
[3] Ibid, Hlm. 17-28.

Senin, 25 Januari 2016

Pemeriksaan perkara pidana dengan acara pemeriksaan dengan acara Biasa, Cepat dan Singkat


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Berlakunya Undang-Undang RI No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah Menimbulkan perubahan fundamental baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara di Indonesia. Sebelum berlakunya UU RI No.8 thn 1981, hukum acara pidana di Indonesia memiliki sejarah panjang dalam perkembangannya. Hukum acara pidana di Indonesia dimulai dari masa penjajahan Belanda terhadap bangsa Indonesia.   
            Setelah berlakunya KUHAP, pemeriksaan perkara pidana di pengadilan terbagi menjadi 3 jenis pemeriksaan, yaitu :
1.       Pemeriksaan perkara dengan acara biasa.
2.      Pemeriksaan perkara dengan acara singkat.
3.      Pemeriksaan perkara dengan acara cepat.
Dalam makalah ini penulis akan menguraikan secara khusus mengenai proses penyelesaian perkara pidana di pengadilan dengan acara biasa. Hal ini ditujukan agar penulis maupun pembaca dapat lebih memahami penyelesaian perkara di pengadilan dengan acara biasa.
1.2  Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
A.    Apa saja asas-asas dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia?
B.     Bagaimana penggolongan tindana pidana yang termasuk dalam pemeriksanaan dengan acara biasa, cepat, dan singkat?
C.     Bagaimana Prosedur pelaksanaan pemeriksaan perkara dipengadilan dengan acara biasa?





BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Asas-Asas Hukum Acara Pidana di Indonesia
Dalam Hukum Acara Pidana dikenal beberapa asas yang berlaku dalam melaksanakan hukum acara pidana, yaitu :
1.      Asas Legalitas ( Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege Poenali )
Legalitas berasal dari kata legal (latin), aslinyalegalis, artinya sah menurut undang-undang. Asas legalitas di kenal sebagai berikut:
1)      Dalam hukum pidana mengatakan “ tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada  (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege Poenali). Asas ini terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP.
2)      Setiap perkara pidana harus diajukan ke depan hakim. ( Lihat Konsideran KUHAP huruf ‘a’. kemudian selain asas ini juga ada asas Oportunitas yaitu  seseorang tidak dapat dituntut oleh jaksa karena dengan alasan dan pertimbangn Demi Kepenringan Umum jadi dalam hal ini dideponer (dikesampingkan). Walaupun asas ini dianggap bertolak belakang dengan asas legalitas namun dalam UU Pokok Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 1961, pasal 8 memberi kewenangan kepada Kejaksaan Agung untuk mendeponer/ menyampingkan suatu perkara berdasarkan ‘’Demi Kepentingan Umum’’. Hal ini dipertegas lagi dalam pejelasan KUHAP pasal 77 yang berbunyi: yang dimaksud ‘’penghentian penuntutan’’ tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.
2.      Asas Perlakuan Yang Sama Di Muka Hukum (Equality Before The Law)
Asas ini sesuai dengan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi: Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Terdapat juga dalam penjelasan umum KUHAP butir 3 a yang berbunyi: perlakuaan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
3.      Asas Praduga Tak Bersalah ( Presumption Of Innocent )
Asas ini dapat di jumpai dalam penjelasan umum KUHAP butir 3 huruf c. juga dirumuskan dalam UU Pokok kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 8 yang berbunyi: “ setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Menurut M. Yahya Harahap, asas praduga tak bersalah di tinjau dari segi teknis penyidikan dinamakan “ Prinsip Akusator “.
Prinsip Akusator menempatkan kedudukan tersangka / Terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan. Oleh karena itu tersangka / Terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri. Yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan ( tindak Pidana ) yang dilakukan oleh tersangka atau Terdakwa, maka kearah itulah pemeriksaan ditujukan.
4.      Asas Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Dan Penyitaan Dilakukan Berdasarkan Perintah Tertulis Pejabat Yang Berwenang.
Asas ini terdapat dalam penjelasan umum KUHAP butir 3 b. Penangkapan diatur secara rinci dalam pasal 15 sampai pasal 19 KUHAP. Dalam peradilan Militer diatur dalam pasal 75 sampai 77 UU No. 31 Tahun 1997.
Penahanan diatur dalam pasal 20 sampai 31 KUHAP. Dalam peradilan Militer diatur dalam pasal 78 sampai 80, dan pasal 137 dan pasal 138 UU No. 31 Tahun 1997. Dalam KUHAP dan Peradilan Militer juga mengatur mengenai Pembatasan penahanan.
Penggeledahan diatur dalam pasal 32 sampai pasal 37 KUHAP. Dalam peradilan Militer diatur dlam pasal 82 samapi pasal 86 UU No. 31 Tahun 1997.
Tentang Penyitaan diatur dalam pasal 38 sampai pasal 46 KUHAP. Dalam peradilan Militer diatur dalam pasal 87 sampai pasal 95 UU No. 31 Tahun 1997.

5.      Asas Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi
Asas ini juga terdapat dalam penjelasan umum KUHAP butir 3 d. Pasal 9 UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 yang juga mengatur ganti rugi. Secara rinci mengenai ganti rugi dan rehabilitasi diatur dalam pasal 95 sampai pasal 101 KUHAP.
Kepada siapa ganti rugi ditujukan, memang hal ini tidak diatur secara tegas dalam pasal-pasal KUHAP. Namun pada tanggal 1 Agustus 1983 dikeluarkan peraturan pelaksananya pada bab IV PP No. 27 / 1983. Dengan peraturan ini ditegaskan bahwa ganti kerugian dibebankan kepada negara ( depertemen keuangan ). Dengan tata cara pembayarannya Menteri keuangan juga mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 983 / KMK. 01 / 1983 pada tanggal 31 esember 1983.
Selain itu juga terdapat penggabungan pidana dengan ganti rugi yang terdapat dalam pasal 98 sampai pasal 101 KUHAP.
6.      Asas Peradilan Cepat, Sederhana Dan Biaya Ringan.
Tidak bertele-tele dan berbelit-belit. Mengenai asas ini terdapat beberapa ketentuan dalam KUHAP diantaranya pada pasal 50 yang berbunyi: Tersangka atau Terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan penyidik, segera diajukan ke penuntut umum oleh penyidik, segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, segera diadili oleh pengadilan. Juga pasal-pasal lain yaitu pasal 102 ayat 1, pasal 106, pasal 107 ayat 3 dan pasal 140 ayat 1.
Tentang asas ini juga dijabarkan oleh KUHAP dalam pasal 98.
7.      Asas Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum.
KUHAP pasal 69 sampai pasal 74 mengatur Bantuan Hukum yang mana tersangka atau Terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas.Asas bantuan hukum ini telah menjadi ketentuan universal di negara-negara demokrasi dan beradab.
8.      Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Hadirnya Terdakwa.
Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam pasal 154, 155 dan seterusnya dalam KUHAP. Yang menjadi pengecualiannya ialah kemungkinan dijatuhkan putusan tanpa hadirnya Terdakwa yaitu putusan Verstek atau in Absentia tapi ini hanya dalam pengecualian dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas. Pasal 214 mengatur mengenai acara pemeriksaanverstek. Dalam hukum acara pidana khusus seperti UU No. 31 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi dan lainnya dikenal pemeriksaan pengadilan secara in absentia atau tanpa hadirnya Terdakwa.
9.      Asas Peradilan Terbuka Untuk Umum.
Pasal yang mengatur asas ini adalah pasal 153 ayat 3 dan 4 KUHAP yang berbunyi: Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua membuka siding dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara mengadili kesusilaan atau Terdakwanya anak-anak.[1]

2.2  Penggolongan tindak pidana yang termasuk dalam Pemeriksanaan dengan acara Biasa, Cepat, dan Singkat
Dalam hukum acara pidana di Indonesia terdapat beberapa macam proses beracara. Untuk dapat membedakan acara pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dapat di lihat dari jenis tindak pidana yang akan di ajukan ke muka sidang pengadilan. Hal tersebut dilihat berdasarkan hal-hal sebagaimana berikut ini :
1.            Perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan pembuktiannya sulit atau mudah.
2.            Berat ringannya ancaman pidana atas perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan.
3.            Jenis perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan.
Atas perbedaan kategori dari tiap-tiap perkara yang akan di ajukan ke muka sidang pengadilan, menurut KUHAP ada tiga jenis acara pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan:
1.            Acara pemeriksaan biasa di atur dalam KUHAP bagian ketiga Bab XVI
2.            Acara pemeriksaan singkat di atur dalam KUHAP bagian kelima Bab XVI
3.            Acara pemeriksaan cepat diatur dalam KUHAP bagian keenam Bab XVI, yang terdiri dari:
a)   Acara pemeriksaan perkara tindak pidana ringan
b)   Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
a.      Acara Pemeriksaan Biasa
Dalam Undang-undang tidak memberikan batasan tentang perkara-perkara yang mana yang termasuk pemeriksaan biasa. Hanya pada pemeriksaan singkat dan cepat saja diberikan batasan.[2]
Pada dasarnya, acara pemeriksaan biasa sebenarnya berlaku juga bagi pemeriksaan singkat dan cepat, kecuali dalam hal-hal tertentu yang secara tegas dinyatakan lain[3]. Namun ada kriteria tertentu mengenai acara pemeriksaan biasa, yaitu:[4]
·      Umumnya tindak pidana yang diancam hukuman 5 (lima) tahun ke atas
·      Masalah pembuktiannya memerlukan ketelitian
·      Ditinjau dari segi pengaturan dan kepentingan, acara pemeriksaan biasalah yang paling luas dan paling utama, karena dalam acara pemeriksaan biasa dilakukan pemeriksaan perkara-perkara tindak pidana kejahatan berat, sehingga fokus pengaturan acara pemeriksaan biasa pada umumnya terletak pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal acara pemeriksaan biasa.
·      Biasa diatur dalam Bagian Ketiga, Bab XVI KUHAP
b.      Acara pemeriksaan singkat
Acara pemeriksaan singkat adalah perkara-perkara yang sifatnya bersahaja, khususnya mengenai soal pembuktian dan pemakaian undang-undang, dan yang dijatuhkan hukuman pokoknya yang diperkirakan tidak lebih berat dari hukum pernjara selama 1 tahun. Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 205 KUHAP  (acara pemeriksaan tindak pidana ringan) dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana dimana dalam perkara ini penuntut umum menghadapkan Terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa, dan barang bukti yang diperlukan. Hal ini ditentukan dalam pasal 203 ayat (1) dan (2) KUHAP. Hakim ketua sidang kemudian menerangkan identitas Terdakwa, seperti: nama lengkap, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan serta mengingatkan Terdakwa untuk memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya dalam sidang pengadilan (Pasal 155 ayat (1) KUHAP).[5]
Namun perlu ditekankan kepada penjelasan bahwa sifat pembuktian serta penerapan hukum acara pidana dalam proses ini adalam mudah dan sederhana. Sebab kata “mudah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak memerlukan banyak tenaga dan pikiran dalam mengerjakan sesuatu, tidak sukar, tidak berat, gampang. Dengan demikian, pembuktian dan penerapan hukum adalah gampang, tidak sukar, dan tidak perlu menggunakan banyak pikiran dalam mengerjakan segala sesuatunya.[6]
c.       Acara pemeriksaan cepat
Pemeriksaan dengan acara cepat diatur dalam bagian keenam Bab XVI KUHAP. Ketentuan tentang acara pemeriksaan biasa berlaku pula pada pemeriksaan cepat dengan pengecualian tertentu, hal ini berdasarkan pasal 210 KUHAP yang menyatakan bahwa ” ketentuan dalam Bagian kesatu, Bagian kedua, dan Bagian ketiga ini ( bab 16) tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan paragraf ini “.
Pemeriksaan cepat terbagi dalam dua paragraf :
1)      Acara pemeriksaan tindak pidana ringan, termasuk delik yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak – banyaknya tujuh ribu lima ratus dan penghinaan ringan
2)      Acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan, termasuk perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang – undangan lalu lintas.

2.3 Prosedur pelaksanaan pemeriksaan perkara dipengadilan dengan acara biasa
Sebelum memasuki materi pemeriksaan sidang dengan  acara biasa ada baiknya perlu dipahami terlebih dahulu prinsip yang harus ditegakkan dan dipedomani. Prinsip-prinsip pemeriksaan persidangan, bukan hanya ditunjukan landasan bagi aparat tapi juga penting diketahui dan didasari Terdakwa sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia.
1.      Pemeriksaan Terbuka Untuk Umum
semua persidangan terbuka untuk umum. Pada saat majelis hakim hendak membuka sidang, harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum” setiap orang yang hendak mengikuti jalannya persidangan, harap hadir memasuki ruangan sidang pintu dan jendela ruangan sidang pun terbuka, sehingga dengan demikian makna prinsip persidangan terbuka untuk umum benar-benar tercapai.
Tentu ada pengecualian, dalam  pasal 153 ayat 3, tempat dimana  tercantum prinsip ini, menyebut pengecualian, dalam pemeriksaan perkara kesusilaan atau perkara Terdakwanya anak-anak, sidang di lakukan dengan “pintu tertutup”, sesuai dengan ketentuan pasal 153 ayat 40, pelangaran atas prinsip ini, negakibatkan. “ batalnya putusan” demi hukum.
a.       Hadirin Harus Bersikap Hormat
Mereka harus sopan dan tidak menimbulkan kegaduhan di ruang sidang. Barang siapa yang menunjukan sikap tidak hormat serta tidak tertib dalam ruangan sidang ketua sidang dapat memerintahkan orang yang bersangkutan di keluarkan dari ruangan sidang. Perintah mengeluarkan ini dapat dilakukan ketua sidang  setelah yang bersangkutan “diperingati” lebih dulu, namun tetap tidak diindahkannya (pasal 218 ayat 2).
Seandainya sifat pelangaran tata tertib yang dilakukan oleh salah seorang pengunjung merupakan tindak pidana, hal itu tidak mengurangi kemungkinan terhadapnya dilakukan penuntutan ( pasal 218 ayat 3 ).
b.      Larangan Membawa Senjata Api
dalam pasal 219 di tegaskan, guna menjamin keselamatan terhadap manusia yang berada dlam ruangan sidang, setiap pengunjung sidang “dilarang” membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak, atau alat maupun benda yang dapat membahayakan kemanan sidang. Larangan ini berlaku terhadap siapa pun tanpa keculai. Bagi mereka yang membawa alat atau benda-benda larangan “wajib” menitipkan di tempat yang kusus di sediakan untuk itu.
c.       Harus Hadir Sebelum Hakim Memasuki Ruang Sidang
ketentuan ini bukan hanya berlaku bagi pengunjung sidang, tetapi berlaku bagi panitera, penuntut umum, penasehat hukum sebagai mana di jelaskan dalam pasal 232:
-          Sebelum sidang di mulai, panitera, penunutut umum, penasehat hukum dan pengunjung yang sudah ada, duduk di tempatnya masing-masing dalam ruangan sidang.
-          Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruangan sidang, semua yang hadir berdiri untuk hormat.
-          Selama sidang berlangsung , setiap orang yang keluar masuk ruangan sidang, diwajibkan memberi hormat
Hal ini yang perlu diingat sehubungan dengan prinsip persidangan yang terbuka untuk umum adalah yang yang berkenaan dengan pasal 153 ayat 5 beserta penjalasannya.
2.      Hadirnya Terdakwa Dalam Persidangan
Hukum tidak membenarkan proses peradilan in absentia dalam acara pemeriksaan biasa dan pmeriksaan acara singkat. Tanapa hadirnya Terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan. Itu sebabnya pasal 154 mengatur , bagaimana cara menghadirkan Terdakwa dalam persidangan. Tata cara tersebut  memperlihatkan tanpa hadirnya Terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan .
Dalam hal ketidakhadiran Terdakwa dipersidangan maka hal-hal yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a.       Apabila disebabkan Surat Panggilan Belum Sah (Pasal 145 dan 146 KUHAP)
1)      Persidangan ditunda pada tanggal dan hari berikutnya.
2)      Penundaan hari sidang tersebut dibarengi dengan perintah dari Majelis Hakim kepada penuntut umum untuk memanggil Terdakwa pada hari dan tanggal sidang berikutnya.
b.      Menghadirkan Terdakwa Secara Paksa
1)      Ketidakhadiran tanpa alasan yang sah
a)      Sidang ditunda pada hari dan tanggal berikutnya.
b)      Ketua Majelis memerintahkan untuk memanggil Terdakwa sekali lagi.
c)      Jika panggilan kedua, Terdakwa tidak hadir lagi tanpa alasan yang sah :
-          Ketua Majelis menunda hari dan tanggal sidang; dan
-          Ketua Majelis memerintahkan penuntut umum untuk menghadirkan Terdakwa secara paksa.
2)      Ketidakhadiran dengan alasan yang sah
a)      Ketua Majelis menunda dan mengundurkan sidang; dan
b)      Memerintahkan penuntut umum untuk memanggil Terdakwa sekali lagi.
c.       Terdakwa Terdiri dari Beberapa Orang, Namun Hanya Beberapa yang Hadir
1)      Menunda dan mengundurkan persidangan tanpa memeriksa Terdakwa yang hadir; atau
2)      Memeriksa para Terdakwa yang hadir.
3)      Terhadap Terdakwa yang tidak hadir, hakim memerintahkan penuntut umum untuk memanggil Terdakwa sekali lagi.
4)      Jika Terdakwa yang tidak hadir tersebut setelah dipanggil untuk kedua kalinya tidak hadir, maka akan dihadirkan secara paksa oleh penuntut umum.
5)      Ketidakhadiran Terdakwa pada sidang hari terakhir, hanya tinggal membaca putusan. Putusan dapat diucapkan dengan hadirnya Terdakwa yang ada saja (Pasal 196 ayat (2) KUHAP). Dengan catatan :
a)      Terdakwa telah pernah hadir, tapi belum diperiksa dan didengar keterangannya di persidangan. Putusan diucapkan terhadap Terdakwa yang hadir saja. Sementara
b)      terhadap terhadap Terdakwa yang pernah hadir, tapi belum cukup diperiksa dan didengar keterangannya, tidak boleh dijatuhkan putusan terhadap mereka. [7]
Untuk melengkapi pembahasan ketidakhadiran Terdakwa menghadap pada tanggal hari persidangan yang telah ditentukan, perlu diperhatikan ketentuan pasal 154 ayat 7 yang menyangkut tugas dan kewajiban panitera yang mendampingi untuk mencatat dalam berita acara persidangan mengenai laporan penuntut umum tentang pelaksanaan perintah pemanggilan yaitu:
a.       Dalam hal pemanggilan belum sah, panitera harus mencatat dalam beriat acara perintah hakim pada penunutu umum untuk memanggil Terdakwa pada sidang berikutnya
b.      Demikian juga dalam ketidakhadiran Terdakwa tanpa alasan yang sah, dan ketidak hadiran yang tidak itu sudah dua kali maka jika dalam peristiwa ini hakim mengeliarkan perintah kepada penuntut umum agar Terdakwa dihadirkan dengan paksa, panitera mencatat perintah tersebut dalam berita acara.
3.      Ketua Sidang Memimpin Pemeriksaan
Ini diatur dalam pasal 217 yang mmenegaskan hakim ketua sidang brtindak memimpin jalannya pemeriksaan pesidangan,, dan memelihara tata tertib persidangan prinsip ini sesuai dengan system pembuktian yang dianut undang-undang, yakni system pebuktian undang-undang secara negative. Mewajibkan hakim mencari kebenaran hakiki di dalam membuktikan kesalahan Terdakwa berdsarkan batas minimum pembuktian menurut undang-undang dengan alat bukti yang sah.
4.      Pemeriksaan Secara Langsung Dengan Lisan
Pasal 153 ayat 2 huruf a menyatakan :
a.       Ayat 1 “ Pada hari yang ditentukan menurut pasal 152 pengadilan bersidang.”
b.      Ayat 2 a  “Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh Terdakwa atau saksi.”
c.       Ayat 2 b “ Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan Terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.”
d.      Ayat 3 “untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam memberikan jawaban secara tidak bebas.”
e.       Ayat 4 “tidak dipenuhi ketentuan dalam ayat 2 dan 3 mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”
5.      Wajib Menjaga Pemeriksaan Secara Bebas
Sesuai dengan pasal 153 ayat 2 huruf b, pemeriksaan terhadap Terdakwa atau saksi “dilakukan dengan tegas”.terhadap mereka tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan Terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.  Baik kepada Terdakwa maupun kepada saksi tidak boleh dilakukan   “penekanan atau ancaman”  yang bias menimbulkan hilangnya kebebasan mereka memberikan keterangan. Bahkan pertanyaan yang “bersifat menjerat” tidak boleh diajukan baik terhadap Terdakwa maupun terhadap saksi, sebagai mana diatur dalam pasal 166 KUHAP.
6.      Pemeriksaan Lebih Dulu Mendengarkan Keterangan Saksi
Dalam pasal 160 ayat 1 huruf b yang menegaskan “pertama-tama di dengar keterangannya adalh korban yan menjadi saksi”. Untuk menguatkan alasan mendahulukan pemeriksaan pendengaran keteranagan saksi dari Terdakwa, pasal ini di hubungkan dengan pasal 184 ayat 1 yang menempatkan urutan alat bukti keterangan saksi pada urutan yang pertama. Sedangkan urutan alat bukti keterangan Terdakwa di tempatkan pada urutan yang terakhir.

Setelah membahas mengenai hal-hal prinsipil yang harus diketahui dalam pemeriksaan dipersidangan, maka saat ini kita akan membahas mengenai proses pemeriksaan perkara dalam persidangan dengan acara biasa.
Dalam pemeriksaan perkara dalam persidangan dengan acara biasa di pengadilan dilakukan dalam berbagai tahap, yaitu :
1.Pemeriksaan Identitas Terdakwa
Pemeriksaan identitas Terdakwa didahului pembukaan sidang oleh ketua. Pembukaan sidang harus dinyatakan “ terbuka untuk umum, seperti yang ditegaskan pasal 153 ayat 3 dan 4.
Setelah hakim membuka sidang serta menyatakan terbuka untuk umum, hakim ketua memeriksa “identitas” Terdakwa
pemeriksaan dicocokkan dengan identitas Terdakwa yang terdapat pada surat dakwaan dan berkas perkara, untuk memastikan dan memastikan dan menyakinkan persidangan memang Terdakwalah yang di maksud dalam surat dakwaan kepadanya.
2.      Memperingatkan Terdakwa
Setelah selesai menanyakan identitas Terdakwa, kewajiban ketua sidang sesuatu yang didengar dan dilihatnya di dalam persidangan .
Persidangan ini tidak lebih dari nasehat dan anjuran namun demikian sebaiknya hakim tidak hanya memperingatkan untuk memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihat saja, tetapi perlu memperingatlkan Terdakwa agar bersikap tenang, jangan takut dan jangan ragu-ragu mengemukakan suatu yang di anggapnya penting untuk perlu pembelaan diri, juga memperingatkan Terdakwasuatu yang di anggapnya penting.
3.      Pembacaan Surat Dakwaan
Selanjutnya “pembacaan surat dakwaan”. Ketua sidang memerintahkan  penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan.
4.      menanyakan isi surat dakwaan
Sesudah penuntut umum selesai membacakan surat dakwaan , hakim harus bertanya kepada Terdakwa apakah dia benar-benar memahami isi surat dakwaan, kalau Terdakwa belum mengerti, menurut ketentuan pasal 155 ayat 2 huruf b, hakim dapat memerintahkan penuntut umum untuk “ memberi penjelasan” lebih lanjut tentang hal-hal yang belum jelas di pahami Terdakwa
5.      Hak Untuk Mengajukan Eksepsi
Pengertian eksepsi atau exception adalah sebagai berikut :
a.       Tangkisan atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujuki terhadap “materi pokok” surat dakwaan.
b.      Tetapi keberatan atau pembelaan ditujukan terhadap cacat “formal” yang melekat pada surat dakwaan.
Dalam pasal 156 ayat 1 KUHAP didefenisi eksepsi tidak di rumuskan secara jelas.
·         Saat mengajukan eksepsi
Jika diperhatikan pasal 156 ayat 1 pengajuan keberatan yang menyangkut pembelaan atas alasan yang “formal” oleh Terdakwa atau penasehat hukum adalah hak.
·         Klasifikasi eksepsi
Pasal 156 ayat 1 menyebutkan berbagai jenis keberatan atau eksepsi yang dapat diajukan Terdakwa atau penasehat hukumnya. Namun dalam eksepsi yang dikemukakan dalam uraian ini tidak terbatas pada bentuk atau jenis eksepsi yang di sebutkan dalam pasal 156
a.       Eksepsi Kewenangan Mengadili
1)      Tidak berwenang secara absolute
munculnya pesoalan kewenangan absolute  mengadili, sebagai akibat pasal 10 undang-undang No. 14/1970 yang telah menetapkan dan membagi yuridis substantive.
2)      Tidak berwenang secara secara relative
di sebut kewengan relative mengadili perkara di dsarkan pada factor “daerah hukum” atau “wilayah hukum”
b.      Eksepsi Kewenangan Menuntut Gugur
Eksepsi lain yang tidak disebutkan dalam pasal 156 ayat 1 KUHAP, tetapi ditemukan dalam ketentuan perundang-undangan lain, antara lain dalam KUHAP adalah eksepsi ynag menyatakan “kewenangan” penunutut umum untuk menuntut “hapus” atau gugur.
Terhadap putusan ini, bentuk putusan yang di jatuhkan pengadilan adalah putusan akhir, bukan putusan sela. Terbuka upaya banding dan kasasi . apabila suatu telah berkekuatan tetap, langsung final dan mengikat, tidak bisa diajukan lagi untuk kedua kalinya.
Perlu diingat, tanpa ada eksepsi pun apa bila persidangan menemukan factor nebi in idem atau kadaluarsa dalam perkara yang diperiksa. Hakim harus menjadikan sebagai dasar putusan dengan amar mnyatakan kewenangan menuntut hapus atau gugur
6.      Pembuktian Atau Pemeriksaan Alat-Alat Bukti
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib Terdakwa, apa bila hasil penelitian dengan alat-alat bukti seperti yang di tentukanoleh undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang di dakwakan kepada, maka Terdakwa dibebaskan dari hukuman.
Tentang pembuktian ini diatur dalam  pasal 183 KUHAP
“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apa bila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukanya.”
Pasal 184 KUHAP Ayat 1 menyatakan alat bukti yang sah ialah:
1.      Keterangan saksi
2.      Keterangan ahli
3.      Surat
4.      Petunjuk
5.      Keterangan Terdakwa
7.      Penuntutan Oleh Penuntut Umum
Penuntutan di kenal juga dengan istilah requisitoir adalah langkah yang seharusnya diberikan kepada jaksa penuntut umum dalam lanjutan sidang pengadilan suatu perkara pidana setelah pemeriksaan alat-alat bukti atau pembuktian. Setelah pemerikasan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.
Pasal 182 KUHAP Ayat 2 “jika acara tersebut pada ayat 1 telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaaan dinyatakan tertutup dengan ketentuan dapat membuka sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatanya, maupun atas permintaaan penuntut umum atau Terdakwa atau penasehat hukum dengan memberikan alasanya.
8.      Pembelaan (Pleidoi) Penasehat Hukum
Setelah penuntutan dilakukan penunutut umum, kemudian kepada Terdakwa atau penasehat hukum di berikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan atau pleidoi di atur dalam pasal 182 KUHAP
Ayat 1 b. “selanjutnya Terdakwa atas penasehat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat jawab  oleh penuntut umum, dengan ketentuan Terdakwa atau penasehat hukum mendapat giliran terakhir.”
9.      Pembacaan Putusan Majelis Hakim
Jenis Putusan Dalam Pengadilan Pidana, Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan sangat tergantung dari hasil musyawarah Majelis Hakim yang berpangkal dari Surat Dakwaan dengan segala sesuatu pembuktian yang berhasil dikemukakan di depan Pengadilan.
Untuk itu, ada beberapa jenis putusan Final yang dapat dijatuhkan oleh Pengadilan diantaranya:
a.       Putusan Bebas
Dalam hal ini berarti Terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum. Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP putusan bebas terjadi bila Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang Pengadilan kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terbukti adanya unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa.
b.      Putusan Lepas
Dalam hal ini berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, namun perbuatan tersebut, dalam pandangan hakim, bukan merupakan suatu tindak pidana.
c.       Putusan Pemidanaan
Dalam hal ini berarti Terdakwa secara sah dan meyakinkan telah terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, oleh karena itu Terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman pasal pidana yang didakwakan kepada Terdakwa.










BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
1.      Bahwa dalam Hukum Acara Pidana terdapat beberapa asas yang mendasari penerapannya, yaitu :
a.       Asas Legalitas ( Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege Poenali )
b.      Asas Perlakuan Yang Sama Di Muka Hukum (Equality Before The Law)
c.       Asas Praduga Tak Bersalah ( Presumption Of Innocent )
d.      Asas Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Dan Penyitaan Dilakukan Berdasarkan Perintah Tertulis Pejabat Yang Berwenang.
e.       Asas Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi
f.       Asas Peradilan Cepat, Sederhana Dan Biaya Ringan.
g.      Asas Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum.
h.      Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Hadirnya Terdakwa.
i.        Asas Peradilan Terbuka Untuk Umum.
2.      Dalam hukum acara pidana di Indonesia terdapat beberapa macam proses beracara yaitu Pemeriksaan dengan acara biasa,singkat, dan cepat. Untuk dapat membedakan acara pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dapat di lihat dari jenis tindak pidana yang akan di ajukan ke muka sidang pengadilan. Hal tersebut dilihat berdasarkan hal-hal sebagaimana berikut ini :
a.       Perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan pembuktiannya sulit atau mudah.
b.      Berat ringannya ancaman pidana atas perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan.
c.       Jenis perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan.
3.      Pemeriksaan dengan acara dilakukan dalam tahapan proses sebagai berikut:
a.       Pemeriksaan Identitas Terdakwa
b.      Memperingatkan Terdakwa
c.       Pembacaan Surat Dakwaan
d.      menanyakan isi surat dakwaan kepada Terdakwa
e.       menanyakan Hak Untuk Mengajukan Eksepsi kepada Terdakwa
f.       Pembuktian Atau Pemeriksaan Alat-Alat Bukti
g.      Penuntutan Oleh Penuntut Umum (requisitoir)
h.      Pembelaan (Pleidoi) Penasehat Hukum
i.        Pembacaan Putusan Majelis Hakim


















DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku

1.      Makarao,  M. T. dan Suhasril.. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan   Praktek.  Bogor: Ghalia Indonesia. 2010/
2.      Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
3.      Hasudungan, Archie Michael dan Petra M.E.J. Pattiwael, Diktat Hukum Acara Pidana (Depok: Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011.
4.      A. Soetomo,  Hukum Cara Pidana Indonesia dalam Praktek, Pustaka Kartini,1990.
5.      Darwan Prints, Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar, Jakarta: Djambatan, 1989.

Undang-Undang

Undang-Undang RI No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)











[1] M. T. Makarao dan Suhasril. 2010. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan   Praktek.  Bogor: Ghalia Indonesia.

[2] Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 238.
[3] Ibid, hlm. 239
[4] Archie Michael Hasudungan dan Petra M.E.J. Pattiwael, Diktat Hukum Acara Pidana (Depok: Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hlm. 52.
[5] A. Soetomo, S.H, “Hukum Cara Pidana Indonesia dalam Praktek”, Pustaka Kartini, hlm 64.
[6] Darwan Prints, “Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar”, Jakarta: Djambatan, hlm 87.
[7] Archie Michael Hasudungan dan Petra M.E.J. Pattiwael, Diktat Hukum Acara Pidana (Depok: Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hlm. 53.